Thursday 9 May 2013

Sebuah cita-cita



Berawal dari rasa penasaran atas ditolaknya naskah novel pertama saya, saya menjadi terobsesi untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia penerbitan. Pada saat itu, saya merasa novel saya itu sangat kreatif, bagus, dan layak untuk terbit. Namun, ketika saya menelepon untuk mengkonfirmasi kepastian terbit tidaknya novel saya itu, jawaban yang saya peroleh sangat tidak memuaskan. Hanya jawaban bahwa novel saya terlalu datar yang saya peroleh. Saat itu, saya sedikit naik darah. Saya tidak terima dikatakan novel itu datar dan kurang greget. Novel yang sekilas berisi pengalaman pribadi sewaktu kuliah semester akhir ternyata tidak cukup keren untuk hadir mengisi deretan novel di toko buku. Sekedar opini, saya pernah mendengar teman saya mengatakan bahwa penulis pemula selalu menulis novel pertamanya mengenai kisah hidupnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa inspirasi terbesar sewaktu menulis terutama untuk pertama kali adalah pengalaman pribadi.
Didukung oleh pengamatan saya terhadap teman kos yang sudah bekerja di dunia penerbitan, saya mengambil kesimpulan bahwa bekerja di dunia yang berkutat dengan buku itu sangat menyenangkan. Alhasil, setiap saya berburu lowongan pekerjaan, lowongan editor selalu saya lirik. Meskipun ada beberapa lowongan yang nensyaratkan kemampuan yang tidak saya miliki, saya nekat saja memasukkan lamaran. Yah, editor sepertinya pekerjaan yang sangat menarik. Duduk di belakang laptop, di dalam ruangan ber-AC, serta ditemani internet, winamp, dan secangkir kopi panas akan sangat mendukung imajinasi liar saya yang mudah muncul dalam lingkungan yang kondusif.
Sebelum akhirnya sekarang duduk menjadi seseorang yang dulu sangat saya inginkan itu, perjuangan ternyata cukup panjang. Suatu kali saya mendapat panggilan dari sebuah penerbit buku yang berada di Jogjakarta. Nasib sial kala itu sedang menimpa saya. Handphone saya kebetulan menghilang sehingga nomor yang dihubungi oleh pihak penerbit adalah nomor kedua yang saya cantumkan sebagai nomor alternatif. Nomor itu adalah nomor handphone ibu saya. Ketika berdering dan belum sempat saya angkat panggilan di telepon itu, handphone ibu saya low batt dan mati. Oleh karena saya tidak mengetahui identitas nomor yang memanggil itu, saya biarkan saja. Kebetulan saat itu charger handphone tersebut juga menghilang. Saat tengah hari dan saya telah menemukan charger yang dimaksud, saya penasaran dan menghubungi kembali nomor yang tadi menelepon. Betapa terkejutnya saya. Ternyata si penelepon bermaksud memanggil untuk mengikuti tes editor kimia. Hal yang lebih mengejutkan dan akhirnya membuat saya menangis sejadi-jadinya kemudian adalah bahwa menurut informasi jumlah orang yang mendapat panggilan untuk mengikuti tes hanya tiga. Sementara itu, jumlah editor yang dibutuhkan kemungkinan satu atau dua orang.
Pengalaman itu ternyata berbuah manis pada akhirnya. Suatu hari, saya membaca lowongan di salah satu penerbit yang lebih besar daripada penerbit sebelumnya. Kontan saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Saya memasukkan surat lamaran. Setelah beberapa hari, saya mendapatkan panggilan kembali. Seingat saya, jumlah peserta yang mengikuti tes sebanyak 28 orang. Salah satu di antaranya adalah istri seseorang yang berkedudukan penting di kantor penerbitan tersebut. Ketika tiba tes tahap penentuan berikutnya, jumlah peserta yang tersisa hanya sebanyak 6 orang, termasuk istri orang penting tersebut. Hal yang paling unik yang tidak mungkin saya lupakan adalah ketika saya diwawancara. Ketika itu, pihak HRD yang mewawancarai saya menanyakan motivasi saya untuk bekerja di kantor penerbitan. Mengalirlah pengalaman pribadi saya mengenai kegagalan saya mengikuti tes editor tempo hari hingga saya menangis sesorean. Orang dari pihak HRD tersebut tersenyum dan mengatakan bahwa dialah yang dahulu menelepon saya untuk mengikuti tes. Perusahaan yang memanggil saya dahulu ternyata anak cabang dari perusahaan ini. Sungguh saya tersipu-sipu malu.
Waktu terus berjalan dan saya kembali mendapat telepon panggilan melalui handphone adik saya yang kebetulan saya cantumkan nomornya saat mengikuti tes. Panggilan kali ini terasa berbeda. Saya diminta mengenakan pakaian pantas untuk bekerja di kantor. Kelima orang lainnya yang mengikuti tes hingga detik-detik terakhir kemarin saya tanyai via sms. Di antara kelimanya ternyata tidak satu pun yang mendapat panggilan. Sesampai di kantor, saya langsung diantar oleh pihak HRD memasuki ruangan yang kini menjadi sangkar emas saya untuk terus menggali ide menciptakan produk berkualitas. Tuhan telah menunjukkan jalan saya entah untuk sementara atau untuk selamanya. Usaha dan kerja keras tidak akan pernah sia-sia. Kesimpulan saya setelah beberapa waktu mendiami posisi di divisi produksi ini adalah bahwa saya dapat memahami alasan novel saya ditolak kala itu. Novel itu memang sungguh sangat datar dan tidak layak terbit.

No comments:

Post a Comment