Berawal dari rasa penasaran atas ditolaknya naskah novel
pertama saya, saya menjadi terobsesi untuk mengetahui lebih jauh tentang dunia
penerbitan. Pada saat itu, saya merasa novel saya itu sangat kreatif, bagus,
dan layak untuk terbit. Namun, ketika saya menelepon untuk mengkonfirmasi
kepastian terbit tidaknya novel saya itu, jawaban yang saya peroleh sangat
tidak memuaskan. Hanya jawaban bahwa novel saya terlalu datar yang saya
peroleh. Saat itu, saya sedikit naik darah. Saya tidak terima dikatakan novel
itu datar dan kurang greget. Novel yang sekilas berisi pengalaman pribadi
sewaktu kuliah semester akhir ternyata tidak cukup keren untuk hadir mengisi
deretan novel di toko buku. Sekedar opini, saya pernah mendengar teman saya
mengatakan bahwa penulis pemula selalu menulis novel pertamanya mengenai kisah
hidupnya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa inspirasi terbesar sewaktu
menulis terutama untuk pertama kali adalah pengalaman pribadi.
Didukung oleh pengamatan saya terhadap teman kos yang
sudah bekerja di dunia penerbitan, saya mengambil kesimpulan bahwa bekerja di
dunia yang berkutat dengan buku itu sangat menyenangkan. Alhasil, setiap saya
berburu lowongan pekerjaan, lowongan editor selalu saya lirik. Meskipun ada
beberapa lowongan yang nensyaratkan kemampuan yang tidak saya miliki, saya
nekat saja memasukkan lamaran. Yah, editor sepertinya pekerjaan yang sangat
menarik. Duduk di belakang laptop, di dalam ruangan ber-AC, serta ditemani
internet, winamp, dan secangkir kopi panas akan sangat mendukung imajinasi liar
saya yang mudah muncul dalam lingkungan yang kondusif.
Sebelum akhirnya sekarang duduk menjadi seseorang yang
dulu sangat saya inginkan itu, perjuangan ternyata cukup panjang. Suatu kali
saya mendapat panggilan dari sebuah penerbit buku yang berada di Jogjakarta.
Nasib sial kala itu sedang menimpa saya. Handphone saya kebetulan menghilang
sehingga nomor yang dihubungi oleh pihak penerbit adalah nomor kedua yang saya
cantumkan sebagai nomor alternatif. Nomor itu adalah nomor handphone ibu saya. Ketika
berdering dan belum sempat saya angkat panggilan di telepon itu, handphone ibu
saya low batt dan mati. Oleh karena saya tidak mengetahui identitas nomor yang
memanggil itu, saya biarkan saja. Kebetulan saat itu charger handphone tersebut
juga menghilang. Saat tengah hari dan saya telah menemukan charger yang
dimaksud, saya penasaran dan menghubungi kembali nomor yang tadi menelepon.
Betapa terkejutnya saya. Ternyata si penelepon bermaksud memanggil untuk
mengikuti tes editor kimia. Hal yang lebih mengejutkan dan akhirnya membuat
saya menangis sejadi-jadinya kemudian adalah bahwa menurut informasi jumlah
orang yang mendapat panggilan untuk mengikuti tes hanya tiga. Sementara itu,
jumlah editor yang dibutuhkan kemungkinan satu atau dua orang.
Pengalaman itu ternyata berbuah manis pada akhirnya.
Suatu hari, saya membaca lowongan di salah satu penerbit yang lebih besar
daripada penerbit sebelumnya. Kontan saja, saya tidak menyia-nyiakan kesempatan
emas itu. Saya memasukkan surat lamaran. Setelah beberapa hari, saya
mendapatkan panggilan kembali. Seingat saya, jumlah peserta yang mengikuti tes
sebanyak 28 orang. Salah satu di antaranya adalah istri seseorang yang
berkedudukan penting di kantor penerbitan tersebut. Ketika tiba tes tahap
penentuan berikutnya, jumlah peserta yang tersisa hanya sebanyak 6 orang,
termasuk istri orang penting tersebut. Hal yang paling unik yang tidak mungkin
saya lupakan adalah ketika saya diwawancara. Ketika itu, pihak HRD yang
mewawancarai saya menanyakan motivasi saya untuk bekerja di kantor penerbitan.
Mengalirlah pengalaman pribadi saya mengenai kegagalan saya mengikuti tes
editor tempo hari hingga saya menangis sesorean. Orang dari pihak HRD tersebut
tersenyum dan mengatakan bahwa dialah yang dahulu menelepon saya untuk
mengikuti tes. Perusahaan yang memanggil saya dahulu ternyata anak cabang dari
perusahaan ini. Sungguh saya tersipu-sipu malu.
Waktu terus berjalan dan saya kembali mendapat
telepon panggilan melalui handphone adik saya yang kebetulan saya cantumkan
nomornya saat mengikuti tes. Panggilan kali ini terasa berbeda. Saya diminta
mengenakan pakaian pantas untuk bekerja di kantor. Kelima orang lainnya yang
mengikuti tes hingga detik-detik terakhir kemarin saya tanyai via sms. Di
antara kelimanya ternyata tidak satu pun yang mendapat panggilan. Sesampai di
kantor, saya langsung diantar oleh pihak HRD memasuki ruangan yang kini menjadi
sangkar emas saya untuk terus menggali ide menciptakan produk berkualitas.
Tuhan telah menunjukkan jalan saya entah untuk sementara atau untuk selamanya. Usaha
dan kerja keras tidak akan pernah sia-sia. Kesimpulan saya setelah beberapa
waktu mendiami posisi di divisi produksi ini adalah bahwa saya dapat memahami
alasan novel saya ditolak kala itu. Novel itu memang sungguh sangat datar dan
tidak layak terbit.
No comments:
Post a Comment